Senin, 18 November 2013

Setetes Embun Surga



ANGIN malam berhembus sepoi mengisi celah-celah kosong setiap sudut alam. Rembulan juga tak lelah belalakkan kedua matanya mengawasi mimpi-mimpi indah setiap anak manusia di tengah gelapnya malam. Di sana, di sebuah rumah bertembok tinggi berpagar besi, sepasang mata masih terbelalak bagai tak tersapa rasa kantuk secuil pun. Tangan putih lentiknya masih sibuk membuka-buka makalah pengajian yang diadakan oleh anak-anak rohis besok pagi di sekolahnya. Gadis remaja  itu sibuk mencatat pokok-pokok bahasan dalam makalah yang tadi ia dapat dari sahabatnya, Wulan ke dalam diary pribadinya.
Sambil rebahan di dalam kamarnya yang serba pink, dengan ditemani dua buah buku tebal dan bantal guling tweety kesayangannya, Ana Armanda, gadis muda energik itu masih asyik mengarungi kata demi kata pada makalah tersebut. Gadis kelahiran 2 Desember 17 tahun yang lalu itu, adalah anak bungsu dari keluarga Janus Darman dan Amanda Sitohak. Kakaknya, Rendra Darman sudah menikah setahun yang lalu dengan seorang gadis Bali, teman kuliahnya dulu.
Walaupun berasal dari keluarga penganut Protestan yang taat, papa dan mamanya tidak melarang anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri, asalkan tidak melanggar norma. Begitupun kakaknya, orang tua mereka tidak melarangnya menikah dengan gadis Bali itu, Ni Made Suryana. Hingga kakaknya kini berubah keyakinan menjadi seorang penganut Hindu Bali. Meskipun dalam keluarga besarnya masih ada yang menentang pilihan kakaknya, tapi kedua orang tuanya mendukung Rendra demi kebahagiaan anaknya tersebut.
Setengah jam berlalu, Ana merasa matanya kini tak bisa diajak kompromi lagi. Makin lama terasa makin berat saja, hingga akhirnya dia KO melawan rasa kantuknya itu. Kini mimpi-mimpinya telah menanti kehadiran Ana ke alam khayal tanpa tepi.
@@@
Detak jam di dinding kamar Ana masih terus berputar mencari pagi, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara seruan azan subuh mengalun merdu memanggil para hamba Allah yang masih berasyik-masyuk dengan mimpi-mimpi manis mereka masing-masing. Sesaat Ana terbangun, namun dia tidur lagi. Fajar mulai menyingsing, mentari pun mengintip dari celah dedaunan ditemani tetesan embun pagi. Jam 06:15 Ana sudah bangun, sembari menggeliat menyambung sukma yang tak sempurna, ia dengan segera beranjak menuju kamar  mandi pribadinya.
Dengan mata sedikit malas, ia diam sejenak menikmati hawa sejuk udara pagi hari itu, tatapannya lurus memandangi wajahnya dalam cermin di depannya, kusut. Hari minggu ini, dia berencana untuk tidak keluar rumah setelah pulang dari gereja nanti. Malas.
Sekitar jam 07:15, Ana dan keluarganya berangkat menuju gereja Santa Maria untuk melakukan misa minggu. Dalam misa kali ini, Ana merasakan suasana yang agak berbeda dari biasanya, suasana yang sedikit kurang nyaman di hatinya. Ia teringat sebuah ayat al-Qur'an yang ia baca di makalahnya malam tadi. Ayat itu begitu menohok dalam hatinya. Lamunannya berperang, berseberangan tatkala menyimak khotbah dari pendeta Bernard tentang Tuhan Yesus. Penjelasan yang kontradiktif dari yang ia tahu dan ayat yang tadi malam ia hafalkan. Sungguh bertentangan dengan apa yang ia tahu di ajarannya. Pikirannya masih terus berkutat pada ketuhanan Yesus atau Nabi Isa itu.
Memang, Ana mulai mengkritisi ajaran agamanya ini semenjak ia masih SMP dulu.
Wajah murung Ana terus berlanjut hingga mereka pulang dari gereja. Aneka macam berkelebat di otaknya. Logikanya masih belum menemukan jawaban atas berbagai keraguan yang menyeruak dalam hatinya. Tak sengaja mamanya melihat keadaan putrinya yang agak gelisah pagi itu.
“ Sayang, kamu gak apa-apa kan?” tanya mamanya lembut dengan suara agak ditekan.
“ Ah…aku gak pa-pa kok Ma,” balasnya sambil tersenyum.
“ Yakin gak apa-apa?”
“ He-eh…” Dia hanya mendesah pelan, diiringi anggukan malas.
Jam 10:30 pagi, mobil mereka sampai di rumah. Tidak seperti biasanya, setelah turun dari mobil Ana langsung masuk rumah. Mamanya sedikit bingung melihat keadaan putri kesayangannya pagi ini. Dia hanya memandang punggung Ana yang berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya.
@@@
Ana menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya, ia menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar, satu pesan masuk tapi tak ia baca. Lalu ia menghubungi sahabatnya, Wulan sekaligus teman sebangkunya. Wulan adalah putri seorang tokoh masyarakat di daerahnya. Pribadinya tak pernah lepas dari jilbab panjang. Orangnya pintar dan juga sopan, dia juga tak mau kenal dengan yang namanya pacaran, karena dia orangnya anti pacaran. Terlebih hal itu dilarang agamanya. Ada nilai lebih pada sosok Wulan. Dia dianugerahi paras di atas rata-rata.
Tapi bukan karena itu semua Ana berteman dengan Wulan. Dalam pandangannya, Wulan orang yang bisa mengerti pada sisi paling dalam pada dirinya selama ini. Selain itu, hanya Wulan yang bisa ia ajak curhat. Wulan juga sekali-kali memberi penjelasan pada Ana ketika ia bertanya tentang bagaimana itu Islam.
Ana mencari cari nomor Wulan di-HP nya, lalu ia calling nomor tersebut. Tak berapa lama tersambung, ditandai dengan nada sambung di HP Wulan berbunyi. Terdengar lantunan ayat suci al-Qur'an mengalun merdu menyejukkan kalbu yang mendengar. Belakangan diketahuinya bahwa suara khas itu adalah milik al-Ghomidi. Ana seakan terhipnotis oleh suara itu. Tapi kejadian itu langsung sirna ketika dari seberang Wulan menyahut. lantunan ayat suci al-Qur'an mengalun merdu menyejukkan kalbu yang mendengar. Belakangan diketahuinya bahwa suara khas itu adalah milik al-Ghomidi. Ana seakan terhipnotis oleh suara itu. Tapi kejadian itu langsung sirna ketika dari seberang Wulan menyahut.
“ Assalamualaikum?” terdengar suara Wulan di seberang sana.
“ Ha…halo, Wulan ini Ana,” dia gelagapan tak tahu untuk menjawab salam dari Wulan.
“ Oh Ana, ada apa An…, kok tumben siang-siang begini nelpon aku?” tanya Wulan.
“ Ah nggak, Lan…, emangnya kamu sekarang ada di mana?” Ana balas bertanya.
“ Aku sekarang lagi ada di sekolah, nugguin acara pengajiannya mulai. Kamu lagi ngapain hari libur gini?”
“ Aku di rumah aja. Ehm…Lan, boleh gak aku datang ke sana?” Ana diam menunggu jawaban.
“ Apa…, kamu mo dateng ke sini? Ngapain?” Wulan heran.
“ Aku pengen ikut pengajian ama kamu,” jawab Ana spontan.
“ Bener kamu mo ikut pengajian…, apa gak apa-apa…?” tanya Wulan heran.
“ Iya bener aku pengen ikut pengajian, boleh kan, Lan?” Ana memelas.
“ Iya boleh… boleh kok! Malah aku seneng banget, lagian aku sendirian di sini!” nada bicara Wulan tampak senang.
“ Makasih ya Lan, aku berangkat sekarang… tungguin ya. Dah…!”
Tak terasa tenggorokannya sedikit tercekat. Ada sesuatu yang membuat air matanya ingin keluar, tapi dia tahan. Ana masih belum sadar atas apa yang ia ucapkan barusan. Wulan bisa menerima kehadirannya. Dia mau ikut pengajian untuk pertama kalinya, masa sih aku bilang kayak gitu barusan? Apa aku sudah siap? Pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya. Bergegas dia berganti pakaian, mengenakan rok panjang dan baju berlengan panjang berwarna pink. Sungguh anggun dirinya dengan pakaian seperti itu. Tapi dia masih bingung, apakah dia akan berubah sekarang, atau masih akan menunggu waktu? Ia terpaku melihat dirinya dalam cermin, benarkah aku Ana Armanda. Ia merasa tidak mengenal dirinya.
@@@
Wulan celingak-celinguk mencari sosok sahabatnya, Ana di antara para siswa-siswi yang bersiap masuk ke Aula. Tiba-tiba ada yang menyentil pundaknya dari belakang. Akhtar, sang ketua Rohis  SMU 1 yang menjadi primadona sekolah, ternyata sudah berdiri tegap di belakangnya.
“ Cari siapa Lan, kok celingukan sendiri?” tanyanya.
“ Eh ini Kak, aku lagi nunggu Ana, katanya dia mo ke sini,” jawab Wulan sambil tersenyum.
“ Ana…Ana kelas 2 IPA itu, yang biasanya ke gereja itu ya? Emangnya dia mau apa ke sini?” selidik Akhtar sedikit  heran.
“ Katanya sih mau ikut pengajian Kak….!” jawab ana. Dia sedikit ragu untuk meneruskan kalimatnya. “Barangkali dia mulai tertarik ama Islam Kak,” tambahnya.
Akhtar tidak menjawab. Angannya membayangkan sosok Ana yang ia tahu adalah seorang gadis Protestan. Ana anak pengusaha sukses yang tak mau berteman dengan anak-anak kaya. Malah yang ia tahu Ana lebih suka berteman dengan anak yang terbilang biasa. Pernah ia suatu ketika melihat Ana berduaan dengan Amang di depan musola sekolah. Kebetulan Akhtar mendengar percakapan mereka. Saat itu, Ana meminta Amang yang 'Gus' itu mengajarinya membaca al-Qur'an. Namun Amang menolaknya karena Amang memang anaknya tak pernah  berdua dengan wanita yang bukan mahramnya. Kemudian Amang mengajukan Bu Lilis, sang guru agama untuk mengajari Ana membaca al-Qur'an. dengan anak yang terbilang biasa. Pernah ia suatu ketika melihat Ana berduaan dengan Amang di depan musola sekolah. Kebetulan Akhtar mendengar percakapan mereka. Saat itu, Ana meminta Amang yang 'Gus' itu mengajarinya membaca al-Qur'an. Namun Amang menolaknya karena Amang memang anaknya tak pernah  berdua dengan wanita yang bukan mahramnya. Kemudian Amang mengajukan Bu Lilis, sang guru agama untuk mengajari Ana membaca al-Qur'an.
Gadis yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Dia muncul dari selatan gerbang sekolah. Wulan dan Akhtar sempat tercengang melihat penampilan Ana yang jauh berbeda dari biasanya. Busana yang tertutup rapat, dan yang paling membuat mereka takjub adalah Jilbab pink yang dikenakan Ana. Wulan masih tercengang melihatnya, tak terasa matanya berkaca-kaca melihat sahabatnya. Akhtar terdengar mengucapkan lafadz syukur dan tasbih berkali-kali. Senyumnya mengembang. Dia berharap sahabat seimannya bertambah satu lagi. Semoga penampilan Ana ini bukan sekadar toleransi, tapi awal menjadi muslimah sejati!
@@@
“Alhamdulillah, ini semua berkat doa dari kalian. Sebetulnya, sudah sejak lama aku mendambakan menjadi salah satu dari kalian, menjadi seorang Akhwat. Dan akhirnya cahaya itu datang tadi malam, ketika aku berkunjung ke rumah Bu Lilis…,” tutur Ana panjang lebar pada Wulan dan beberapa kawan kelasnya yang kini sudah mengerubungi mereka berdua. Kesukacitaan itu terus berlangsung hingga menjelang Ashar.
Di sudut lain, Akhtar yang tak sengaja lewat di dekat kerumunan mereka beradu pandang dengan Ana. Dia tersenyum bangga lalu mengangguk pelan pada Ana. Ana membalas sebaliknya. “Terima kasih,” batinnya.
@@@
Jam delapan, malam itu. Bu lilis tersenyum haru di hadapan Ana. Tak lama ia memeluk muridnya itu dengan air mata berlinang. Alhamdulillah, Ana akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat itu dengan lancar. Disaksikan Bu Lilis dan beberapa santri putri senior dari pesantren Kiai Abdulloh Qohhar, ayah Bu Lilis. Kiai Abdulloh sendiri yang menuntun Ana  bersaksi mengucapkan ke-Esaan Allah. Ana memantapkan niatnya untuk pindah agama setelah beberapa tahun terakhir ini dirinya selalu diliputi rasa gamang pada agamanya yang dulu.
“Sayang, Ibu bangga sekali punya murid seperti kamu,” ucap Bu Lilis terbata-bata.
“Bu…, makasih sudah menuntun Ana pada jalan lurus yang akan Ana lalui ini…!”
Keduanya lantas larut dalam tangis keharuan bercampur bahagia.
“Terus, gimana dengan orang tua kamu?” tanya Bu Lilis.
“Mama sudah saya kasih tahu. Alhamdulillah beliau tidak melarang pilihan saya ini,” ucapnya lirih.
“Bu, tolong tuntun saya supaya bisa lebih mendalami agama ini. Tuntun saya di jalan cahaya-Nya ini!” pinta Ana tulus.
“Itu pasti sayang. Ibu akan selalu ada kalau kamu membutuhkan,” jawab Bu Lilis mantap.
“Terima kasih banyak Bu!” Mereka kembali saling berangkulan. Suasana hening itu berubah sumringah penuh haru. Akhirnya Ana kini bisa mendapatkan apa yang ia impi-impikan; menjadi seorang akhwat. Tamat

0 komentar:

Posting Komentar