11.55 -
ken cerpen
No comments


Setetes Embun Surga

Sambil
rebahan di dalam kamarnya yang serba pink, dengan ditemani dua buah buku tebal
dan bantal guling tweety kesayangannya, Ana Armanda, gadis muda energik itu
masih asyik mengarungi kata demi kata pada makalah tersebut. Gadis kelahiran 2
Desember 17 tahun yang lalu itu, adalah anak bungsu dari keluarga Janus Darman
dan Amanda Sitohak. Kakaknya, Rendra Darman sudah menikah setahun yang lalu
dengan seorang gadis Bali, teman kuliahnya dulu.
Walaupun
berasal dari keluarga penganut Protestan yang taat, papa dan mamanya tidak
melarang anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri, asalkan
tidak melanggar norma. Begitupun kakaknya, orang tua mereka tidak melarangnya
menikah dengan gadis Bali itu, Ni Made Suryana. Hingga kakaknya kini berubah
keyakinan menjadi seorang penganut Hindu Bali. Meskipun dalam keluarga besarnya
masih ada yang menentang pilihan kakaknya, tapi kedua orang tuanya mendukung
Rendra demi kebahagiaan anaknya tersebut.
Setengah
jam berlalu, Ana merasa matanya kini tak bisa diajak kompromi lagi. Makin lama
terasa makin berat saja, hingga akhirnya dia KO melawan rasa kantuknya itu.
Kini mimpi-mimpinya telah menanti kehadiran Ana ke alam khayal tanpa tepi.
@@@
Detak jam di dinding kamar Ana masih terus berputar mencari
pagi, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara seruan azan subuh mengalun
merdu memanggil para hamba Allah yang masih berasyik-masyuk dengan mimpi-mimpi
manis mereka masing-masing. Sesaat Ana terbangun, namun dia tidur lagi. Fajar
mulai menyingsing, mentari pun mengintip dari celah dedaunan ditemani tetesan
embun pagi. Jam 06:15 Ana sudah bangun, sembari menggeliat menyambung sukma
yang tak sempurna, ia dengan segera beranjak menuju kamar mandi pribadinya.
Dengan
mata sedikit malas, ia diam sejenak menikmati hawa sejuk udara pagi hari itu,
tatapannya lurus memandangi wajahnya dalam cermin di depannya, kusut. Hari
minggu ini, dia berencana untuk tidak keluar rumah setelah pulang dari gereja
nanti. Malas.
Sekitar
jam 07:15, Ana dan keluarganya berangkat menuju gereja Santa Maria untuk
melakukan misa minggu. Dalam misa kali ini, Ana merasakan suasana yang agak
berbeda dari biasanya, suasana yang sedikit kurang nyaman di hatinya. Ia
teringat sebuah ayat al-Qur'an yang ia baca di makalahnya malam tadi. Ayat itu
begitu menohok dalam hatinya. Lamunannya berperang, berseberangan tatkala
menyimak khotbah dari pendeta Bernard tentang Tuhan Yesus. Penjelasan yang
kontradiktif dari yang ia tahu dan ayat yang tadi malam ia hafalkan. Sungguh
bertentangan dengan apa yang ia tahu di ajarannya. Pikirannya masih terus
berkutat pada ketuhanan Yesus atau Nabi Isa itu.
Memang,
Ana mulai mengkritisi ajaran agamanya ini semenjak ia masih SMP dulu.
Wajah
murung Ana terus berlanjut hingga mereka pulang dari gereja. Aneka macam
berkelebat di otaknya. Logikanya masih belum menemukan jawaban atas berbagai
keraguan yang menyeruak dalam hatinya. Tak sengaja mamanya melihat keadaan
putrinya yang agak gelisah pagi itu.
“ Sayang,
kamu gak apa-apa kan?” tanya mamanya lembut dengan suara agak ditekan.
“ Ah…aku
gak pa-pa kok Ma,” balasnya sambil tersenyum.
“ Yakin
gak apa-apa?”
“
He-eh…” Dia hanya mendesah pelan, diiringi anggukan malas.
Jam
10:30 pagi, mobil mereka sampai di rumah. Tidak seperti biasanya, setelah turun
dari mobil Ana langsung masuk rumah. Mamanya sedikit bingung melihat keadaan
putri kesayangannya pagi ini. Dia hanya memandang punggung Ana yang berjalan
cepat masuk ke dalam kamarnya.
@@@
Ana menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya, ia
menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar, satu pesan masuk tapi
tak ia baca. Lalu ia menghubungi sahabatnya, Wulan sekaligus teman sebangkunya.
Wulan adalah putri seorang tokoh masyarakat di daerahnya. Pribadinya tak pernah
lepas dari jilbab panjang. Orangnya pintar dan juga sopan, dia juga tak mau
kenal dengan yang namanya pacaran, karena dia orangnya anti pacaran. Terlebih
hal itu dilarang agamanya. Ada nilai lebih pada sosok Wulan. Dia dianugerahi
paras di atas rata-rata.
Tapi
bukan karena itu semua Ana berteman dengan Wulan. Dalam pandangannya, Wulan
orang yang bisa mengerti pada sisi paling dalam pada dirinya selama ini. Selain
itu, hanya Wulan yang bisa ia ajak curhat. Wulan juga sekali-kali memberi
penjelasan pada Ana ketika ia bertanya tentang bagaimana itu Islam.
Ana
mencari cari nomor Wulan di-HP nya, lalu ia calling nomor tersebut. Tak berapa
lama tersambung, ditandai dengan nada sambung di HP Wulan berbunyi. Terdengar
lantunan ayat suci al-Qur'an mengalun merdu menyejukkan kalbu yang mendengar.
Belakangan diketahuinya bahwa suara khas itu adalah milik al-Ghomidi. Ana
seakan terhipnotis oleh suara itu. Tapi kejadian itu langsung sirna ketika dari
seberang Wulan menyahut. lantunan ayat suci al-Qur'an mengalun merdu
menyejukkan kalbu yang mendengar. Belakangan diketahuinya bahwa suara khas itu
adalah milik al-Ghomidi. Ana seakan terhipnotis oleh suara itu. Tapi kejadian
itu langsung sirna ketika dari seberang Wulan menyahut.
“ Assalamualaikum?”
terdengar suara Wulan di seberang sana.
“
Ha…halo, Wulan ini Ana,” dia gelagapan tak tahu untuk menjawab salam dari
Wulan.
“ Oh
Ana, ada apa An…, kok tumben siang-siang begini nelpon aku?” tanya Wulan.
“ Ah
nggak, Lan…, emangnya kamu sekarang ada di mana?” Ana balas bertanya.
“ Aku
sekarang lagi ada di sekolah, nugguin acara pengajiannya mulai. Kamu lagi
ngapain hari libur gini?”
“ Aku
di rumah aja. Ehm…Lan, boleh gak aku datang ke sana?” Ana diam menunggu
jawaban.
“ Apa…,
kamu mo dateng ke sini? Ngapain?” Wulan heran.
“ Aku
pengen ikut pengajian ama kamu,” jawab Ana spontan.
“ Bener
kamu mo ikut pengajian…, apa gak apa-apa…?” tanya Wulan heran.
“ Iya
bener aku pengen ikut pengajian, boleh kan, Lan?” Ana memelas.
“ Iya
boleh… boleh kok! Malah aku seneng banget, lagian aku sendirian di sini!” nada
bicara Wulan tampak senang.
“ Makasih
ya Lan, aku berangkat sekarang… tungguin ya. Dah…!”
Tak
terasa tenggorokannya sedikit tercekat. Ada sesuatu yang membuat air matanya
ingin keluar, tapi dia tahan. Ana masih belum sadar atas apa yang ia ucapkan
barusan. Wulan bisa menerima kehadirannya. Dia mau ikut pengajian untuk pertama
kalinya, masa sih aku bilang kayak gitu barusan? Apa aku sudah siap? Pertanyaan
itu terus berputar dalam pikirannya. Bergegas dia berganti pakaian, mengenakan
rok panjang dan baju berlengan panjang berwarna pink. Sungguh anggun dirinya
dengan pakaian seperti itu. Tapi dia masih bingung, apakah dia akan berubah
sekarang, atau masih akan menunggu waktu? Ia terpaku melihat dirinya dalam
cermin, benarkah aku Ana Armanda. Ia merasa tidak mengenal dirinya.
@@@
Wulan celingak-celinguk mencari sosok sahabatnya, Ana di
antara para siswa-siswi yang bersiap masuk ke Aula. Tiba-tiba ada yang
menyentil pundaknya dari belakang. Akhtar, sang ketua Rohis SMU 1 yang menjadi primadona sekolah,
ternyata sudah berdiri tegap di belakangnya.
“ Cari
siapa Lan, kok celingukan sendiri?” tanyanya.
“ Eh
ini Kak, aku lagi nunggu Ana, katanya dia mo ke sini,” jawab Wulan sambil
tersenyum.
“ Ana…Ana
kelas 2 IPA itu, yang biasanya ke gereja itu ya? Emangnya dia mau apa ke sini?”
selidik Akhtar sedikit heran.
“ Katanya
sih mau ikut pengajian Kak….!” jawab ana. Dia sedikit ragu untuk meneruskan
kalimatnya. “Barangkali dia mulai tertarik ama Islam Kak,” tambahnya.
Akhtar
tidak menjawab. Angannya membayangkan sosok Ana yang ia tahu adalah seorang
gadis Protestan. Ana anak pengusaha sukses yang tak mau berteman dengan anak-anak
kaya. Malah yang ia tahu Ana lebih suka berteman dengan anak yang terbilang
biasa. Pernah ia suatu ketika melihat Ana berduaan dengan Amang di depan musola
sekolah. Kebetulan Akhtar mendengar percakapan mereka. Saat itu, Ana meminta
Amang yang 'Gus' itu mengajarinya membaca al-Qur'an. Namun Amang menolaknya
karena Amang memang anaknya tak pernah
berdua dengan wanita yang bukan mahramnya. Kemudian Amang mengajukan Bu
Lilis, sang guru agama untuk mengajari Ana membaca al-Qur'an. dengan anak yang
terbilang biasa. Pernah ia suatu ketika melihat Ana berduaan dengan Amang di
depan musola sekolah. Kebetulan Akhtar mendengar percakapan mereka. Saat itu,
Ana meminta Amang yang 'Gus' itu mengajarinya membaca al-Qur'an. Namun Amang
menolaknya karena Amang memang anaknya tak pernah berdua dengan wanita yang bukan mahramnya.
Kemudian Amang mengajukan Bu Lilis, sang guru agama untuk mengajari Ana membaca
al-Qur'an.
Gadis
yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Dia muncul dari selatan gerbang
sekolah. Wulan dan Akhtar sempat tercengang melihat penampilan Ana yang jauh
berbeda dari biasanya. Busana yang tertutup rapat, dan yang paling membuat
mereka takjub adalah Jilbab pink yang dikenakan Ana. Wulan masih tercengang
melihatnya, tak terasa matanya berkaca-kaca melihat sahabatnya. Akhtar
terdengar mengucapkan lafadz syukur dan tasbih berkali-kali. Senyumnya
mengembang. Dia berharap sahabat seimannya bertambah satu lagi. Semoga
penampilan Ana ini bukan sekadar toleransi, tapi awal menjadi muslimah sejati!
@@@
“Alhamdulillah,
ini semua berkat doa dari kalian. Sebetulnya, sudah sejak lama aku mendambakan
menjadi salah satu dari kalian, menjadi seorang Akhwat. Dan akhirnya cahaya itu
datang tadi malam, ketika aku berkunjung ke rumah Bu Lilis…,” tutur Ana panjang
lebar pada Wulan dan beberapa kawan kelasnya yang kini sudah mengerubungi
mereka berdua. Kesukacitaan itu terus berlangsung hingga menjelang Ashar.
Di
sudut lain, Akhtar yang tak sengaja lewat di dekat kerumunan mereka beradu
pandang dengan Ana. Dia tersenyum bangga lalu mengangguk pelan pada Ana. Ana
membalas sebaliknya. “Terima kasih,” batinnya.
@@@
Jam delapan, malam itu. Bu lilis tersenyum haru di hadapan
Ana. Tak lama ia memeluk muridnya itu dengan air mata berlinang. Alhamdulillah,
Ana akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat itu dengan lancar. Disaksikan Bu
Lilis dan beberapa santri putri senior dari pesantren Kiai Abdulloh Qohhar,
ayah Bu Lilis. Kiai Abdulloh sendiri yang menuntun Ana bersaksi mengucapkan ke-Esaan Allah. Ana
memantapkan niatnya untuk pindah agama setelah beberapa tahun terakhir ini
dirinya selalu diliputi rasa gamang pada agamanya yang dulu.
“Sayang,
Ibu bangga sekali punya murid seperti kamu,” ucap Bu Lilis terbata-bata.
“Bu…,
makasih sudah menuntun Ana pada jalan lurus yang akan Ana lalui ini…!”
Keduanya
lantas larut dalam tangis keharuan bercampur bahagia.
“Terus,
gimana dengan orang tua kamu?” tanya Bu Lilis.
“Mama
sudah saya kasih tahu. Alhamdulillah beliau tidak melarang pilihan saya ini,”
ucapnya lirih.
“Bu,
tolong tuntun saya supaya bisa lebih mendalami agama ini. Tuntun saya di jalan
cahaya-Nya ini!” pinta Ana tulus.
“Itu
pasti sayang. Ibu akan selalu ada kalau kamu membutuhkan,” jawab Bu Lilis
mantap.
“Terima
kasih banyak Bu!” Mereka kembali saling berangkulan. Suasana hening itu berubah
sumringah penuh haru. Akhirnya Ana kini bisa mendapatkan apa yang ia
impi-impikan; menjadi seorang akhwat. Tamat
0 komentar:
Posting Komentar