04.38 -
ken cerpen
No comments


Mawar Kuning untuk Bidadari
by ken emont
Kamis 16 January, Pagi.
"Adu…h!, mana ya buku yang aku pinjam
itu?!" Celoteh Rima sembari mencari buku yang ia pinjam dari perpustakaan
sekolah kemarin.
"Duh!, mana jam udah siang
lagi".
"Kamu cari apa sayang?",
Tiba-tiba mama muncul dari ambang pintu kamar Rima, beliau tersenyum manis.
"Ini yang kamu cari?" Mama
mengangkat sebuah buku ber-cover Putih.
"Wah...iya ma iya, syukur banget,
emangnya mama nemuin di mana?" Tanya Rima sambil terus kegirangan.
“Kamu tuh yang lupa naruhnya di mana,
makanya lain kali kalo abis belajar, jangan lupa taruh lagi di kamar kamu!”
Sang mama menasehati.
“Hehehe…, ya ma, maafin deh..., kan tadi malam Rima
ketiduran” Kilahnya tak mau kalah.
“Gini nih anak perawan mama, orangnya suka
lupaan” tegur mama sambil tersenyum sayang.
“Hehe... tapi makasih ya ma, sekarang Rima
berangkat dulu deh ke sekolah, udah telat. Kum...ma!”
“Eit..,salamnya kok gitu sih!?” Mama cuma
bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah putri bungsunya itu.
Dengan mengendarai motor Matic hadiah dari
ayahnya sewaktu jadi juara umum di sekolahnya, dia ia bertolak menuju sekolah
agak telat dari biasanya.
Sesampainya di sekolah, Rima langsung
menuju parkiran sekolah, hampir saja dia terlambat. Setibanya dalam kelas,
anak-anak terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ternyata, pak
guru masih belum juga datang. “Duh untungnya”, batinnya lega. Lima menit kemudian, pak Joko, sang wali
kelas memasuki ruang kelas, serentak suasana langsung sepi. Di depan kelas,
walau pun waktu sudah lewat 7 menit, beliau tidak langsung memulai pelajaran.
Beliau memperkenalkan seorang murid baru yang katanya pindahan dari Surabaya, yang sekarang
juga akan menghuni kelas 3 IPA atau lebih tepatnya kelas Rima.
“Nabil!, silahkan masuk!” Suara bariton
pak Joko memerintah seseorang yang ada di luar untuk masuk dan memperkenalkan
diri. Tak lama kemudian, seseorang dengan tubuh atletis masuk ke dalam kelas
dan langsung memperkenalkan dirinya.
”Assalamualaikum...!, kenalkan, nama saya
Nabil, Zaid Nabil. Saya pindahan dari Surabaya...”
Pemuda itu memperkenalkan dirinya.
Beberapa siswa ada yang berkasak-kusuk,
ada juga yang saling adu sikut. Sementara Rima hanya menatap tajam kearah sosok
yang ada di depan kelas tersebut. Dan kini, tatapan Rima tak lepas memandangi
Nabil yang kini sudah duduk dua bangku di arah kanannya. Ada
desir aneh nan sejuk di sana.
>>>
Lelah rasanya setelah pindah dari Surabaya seminggu lalu,
tadi pagi aku langsung masuk di kelas dan sekolah yang baru pula. Ada kesan yang beda
bagiku begitu masuk ke kelas itu. Tak seperti sekolah-sekolah di Surabaya dulu.
Tapi aku lebih suka suasanan yang sekarang ini.
Setengah bulan di sekolah baru ini, aku
langsung diajak oleh Rahman teman kelasku untuk mencalonkan diri menjadi
anggota Rohis. Dan, Alhamdulillah aku terpilih menjadi Sekertaris. Otomatis
kegiatanku di sekolah bertambah, nongkrongin perpustakaan, di Musholla, kantor
Rohis, dan yang paling menyita waktu adalah mempersiapkan acara Pensil
menyambut tahun baru Hijriyah. Beberapa teman di kelas juga mulai akrab
denganku, dan rata-rata semua laki-laki. Aku tahu ada beberapa anak putri yang
ingin kenal denganku, dan kebanyakan mereka hanya ingin menarik perhatianku
saja. Huh…!.
Katanya sih, salah satu siswi itu namanya
Rima. Dia duduk dua bangku dari arah kiriku. Anaknya pendiam, tapi ia
berprestasi, rambutnya berjuntai terlepas dan panjang sepinggang. Sayang, dia
tidak menutup aurat. Aku kan
anak Rohis dan seorang Ikhwan, gimana caranya aku bisa buat dia tutup auratnya?.
Akhirnya, acara Pensil tahun baru Hijriyah
tiba juga. Rata-rata yang hadir anak-anak jilbaber, yang putra kurasa lebih
dari separuh anak sekolah ini. Ada
juga yang cuma pake jilbabnya nangkring kayak punya mbak Tutut. Tapi tunggu,
Sosok pendiam dan berprestasi itu tak ku lihat, tak muncul di acara ini. Ah
biarlah!. Yang penting acara berjalan dengan lancar dan meriah.
>>>
Setengah bulan lagi bulan Februari, Rima
sibuk menandai kalender kecil di meja belajarnya. Melingkari beberapa angka
dengan spidol merah besar. “Akhirnya, setelah sebulan lebih, aku kenal juga
dengan Nabil. Senang rasanya”, Bisik hati kecilnya. Dia tersenyum sendiri
sembari melangkah ke ranjang pegasnya dengan membawa Diary Pink kesayangannya.
Dear
Diary...
Ry...hari ini aku seneng banget...dech!.
Coz tadi pagi Nabil menyapaku. Yah…,walau pun dia cuma nanya soal Randi teman
sebangkunya yang tak masuk karena sakit itu. So swee...t!!.
Ry...setengah bulan lagi bulan Februari,
kamu ngerti kan
maksud ku...apakah aku punya keberanian tuk ngungkapin semua ini ya, ry...
Doain aku ya!. Met bobo ry.^-^
Hingga jam sepuluh menjelang, Rima baru
bisa memejamkan mata lentiknya itu.
“Nabi...ll Tunggu...!!”
“Maafin aku Rima, aku tak bisa bersamamu.
Karena kamu bukan muhrimku, dan juga..., pakaianmu itu. Maafin
aku!” Sosok itu menjauh dari Rima, langkah Rima terus
mengejar, tapi apa daya. Langkah sosok itu kian menjauh dan menjauh.
Rima tersentak bangun dengan wajah
becucuran keringat. Jam dinding menunjukkan jam setengah lima pagi. Terdengar adzan Subuh telah tegak.
Dia menangis teringat pada Nabil dalam mimpinya barusan, juga pada mendiang
ayahnya yang selalu membangunkan dirinya di kala Subuh tiba. Rima rindu.
>>>
“Bil, emangnya lusa besok, pas Vallentinan
lu mau ngungkapin perasaan lu sama siapa?” Tanya Randi.
“Aduh Ran..., bukannya gue mo ngelarang lu
ya, yang namanya Vallentinan itu perayaannya orang Nasrani, nggak cocok buat
orang Islam kayak kita ini. Lu masih islam kan?” Selidik ku.
“Masih dong!, tapi..., Bil, apa gue yang
jarang salat ini masih bisa tobat?”
“Ran, Allah itu maha pengampun, sebesar
apapun dosa kita, kalo emang kita serius untuk tobat, Allah pasti akan nerima
tobat kita dan...bla bla bla...” Aku menjelaskan panjang lebar, dan juga
tentang perayaan Vallentine yang mana sudah jadi tradisi orang-orang Nasrani,
dan dosanya Tasyabbuh pada mereka.
“Jadi gimana, ntar lusa lu masih mau
ikutan acara begituan?”.
“Ng..., gue rasa..., gue ke rumah lu aja
deh, ngerjain tugas dari Pak Teguh, Sekalian belajar ngaji, Boleh kan?”
Kehangatan itu terasa semakin dekat,
persahabatan adalah sesuatu yang indah, apalagi ada Rahmat-Nya yang selalu
mendampingi setiap kami melangkah.
Tak
lama setelah itu, di belakangku telah berdiri seorang gadis yang tak asing lagi
sosoknya bagiku. Ku tahu Rima ada di situ karena Randi memberi isyarat mata
padaku tentang keberadaannya.
“Eh Rima, ada perlu apa? kok bengong
sendiri disitu?” Candaku untuk menghilangkan kekakuannya.
“Aku..., aku pengen ngomong sesuatu sama
kamu Bil, bisa nggak?”
“Ngomong ama aku?, soal apa?”
“Ini penting Bil, aku serius gimana? bisa
nggak?”
“Ya udah deh, tapi kita ngomongnya jangan
disini ya, di Musholla aja. Di sana
ada satir yang bisa misah kita waktu ngomong ntar”.
“Terserah kamu deh!”.
Randi cuma mengangguk setelah aku minta
waktu sebentar padanya, ada angin sejuk yang datang di hatiku, tapi juga serasa
ada api yang seakan menanti di depan sana.
Aku gugup.
Di dalam Mushallah, aku duduk dibagian
pria, sedangkan Rima sebaliknya. Awalnya perbincangan kami terasa kaku,
akhirnya sedikit lebih akrab walaupun kami terpisah. Aku takut.
“Tet...tet...tet...”, bel sekolah
tiba-tiba berteriak keras membuyarkan perbincagan kami pagi itu. Aku tak tahu
harus melakukan apa ketika Rima menyodorkan selembar amplop berwarna merah
jambu padaku sebelum dia beranjak pergi. Aku bingung apa yang harus aku lakukan
pada surat ini.
Kubaca sekilas tulisan yang ada di bagian depan amplop. “Untuk Zaid Nabil”.
Di dalam kelas aku tak berani membaca isi surat itu, juga tak
berani melihat ke arah Rima. Hingga akhir jam pelajaran, aku tak bisa
mengkonsentrasikan pikiran pada pelajaran yang di sampaikan pak guru. Aku
bingung.
“Emangnya ngapain dia ngajak lu tadi?,
ati-ati, ntar ada fitnah lo!”
“dia cuma nanya soal pelajaran aja kok
Ran” Aku mencoba ngeles dari pertanyaan Randi barusan.
>>>
Dear
Nabil...
Sebelumnya,
aku minta maaf kalau datangnya surat
ini nantinya mengganggu aktifitasmu. Bil...aku nggak pengen basa-basi...!.
Sebenarnya, sebelum mengenal kamu..., hatiku tak seberat seperti sekarang ini.
Bagai seekor merpati yang bisa terbang bebas di angkasa biru. Tapi, semenjak
kau datang dan aku mengenal kamu, hatiku serasa tercuri. Aku bingung, kemana
harus mencari. hingga akhirnya..., aku beranikan diri untuk menulis surat ini untuk kamu.
Mungkin... tanpa ku utarakan semua, kamu sudah paham maksud dari tulisanku ini.
Aku ingin hati ini kembali lengkap dan ada yang menjaganya untukku. Nabil, aku
tunggu jawabanmu. Sekian.
The
admirror
Rima.
Blarr!!! Seketika aku bagai tersambar
petir di siang bolong. Tak kusangka Rima yang pendiam itu, secara diam-diam
pula menaruh hati padaku, hingga dia nekat menulis surat untukku. Aku bingung apa yang harus
kuperbuat sekarang. Padahal tadi pagi aku baru saja menyadarkan Randi sohibku.
Apakah aku yang kena timpal baliknya, ataukah ini hanya ujian bagiku. “Ya
Allah! Ampunilah hambamu ini”.
Malam ini, Salat malam kudirikan tuk
meminta petunjuknya, beribu untaian doa ku panjatkan pada-Nya.
Sudah kuputuskan akan kujawab isi surat dari Rima, tekatku
sudah bulat. Bagaimana pun nanti yang akan terjadi pada ku atau dia. Suasana
sekolah sedikit berbeda dari biasanya, banyak siswa yang tertipu oleh virus
vallentine itu. mereka berbondong-bondong menyatakan perasaannya pada pasangan
mereka masing-masing, yang notabene bukan muhrimnya. Astaghfirullah.
Padahal, sejatinya cinta, baik dari bumi atau langit, semua hanya patut kita
berikan pada Tuhan pencipta semesta. Aku dan Randi cuma bisa mengelus dada
saja. Ironis sekali bangsa ini.
“Bil tunggu!, katanya lu nggak mau ikutan
vallentine, tapi kenapa lu beli mawar kuning segala? Buat siapa sich?” Randi
melontarkan pertanyaan yang cukup menerorku.
Aku menceritakan panjang lebar pada Randi
tentang surat
dari Rima, dan juga maksudku membeli mawar kuning yang ada di bangkuku itu.
“Oo..., jadi itu maksud mawar kuning itu,
kalo' gitu..., gue dukung lu dari belakang deh”.
Mushalla pagi itu sepi, hanya kicau burung
dan hembusan angin pagi silih berganti, saling berpadu.
Aku telah menunggu kedatangan Rima sepeti
sebelumnya. Aku duduk di tempat laki-laki sedang Rima sebaliknya, dibatasi
satir tinggi panjang. Sejenak hanya kesunyian, lalu aku membuka pembicaraan di
pagi itu.
“Sebelumnya aku minta maaf jika nanti ...”
Kata-kataku di putus oleh Rima, seakan dia telah tahu apa yang akan aku
ucapkan.
“Nabil, hatiku sudah siap mendengar
jawabanmu, apapun nanti yang akan kau ucapkan, aku sudah siap menerima
konsekwensinya, meskipun itu akan sakit bagiku” Mendengar ucapannya, aku
sedikit terenyuh padanya.
“Sebelumnya, aku sudah membaca surat yang kau berikan padaku,
aku sudah paham tentang bagaimana perasaanmu. Tapi, setelah aku berpikir secara
dewasa dan memikirkan akibatnya secara syara' dan sosial, kita...”. Hening.
“Dan mungkin inilah yang terbaik bagi
kita, dan aku memilih jawaban tentang apa yang kau pinta itu. Mungkin bukan
waktunya bagi kita tuk menjalin hubungan yang pasti, karena tugas kita tuk
menuntut ilmu masih berlangsung. Tapi, jika kita memang jodoh, pasti tak akan
kemana. Rima... aku tak ingin kehilangan apapun, dan aku juga tak ingin kehilangan
kamu. Aku telah memutuskan tuk menjadi sahabatmu saja, mungkin tak bisa lebih
bagiku. Maafkan aku...?”. Terdengar desahan napas panjang di balik sana, Rima tak menangis.
Dia tampak tegar.
“Rima, sebagai permintaan maafku dan awal
persahabatan kita, ku harap kau mau menerima mawar kuning ini sebagai tanda
persahabatan kita” Aku menyodorkan sekuntum mawar kuning ke balik satir itu,
Dia menerimanya. Ternyata, dia juga gamang dengan perasaannya, setelah ia
bercerita panjang lebar. Tak lupa dia juga menanyakan tentang mimpi yang pernah
ia alami. Aku jelaskan tentang wajibnya seorang wanita yang sudah baligh untuk
menutup seluruh tubuhnya, karena itu adalah aurat. Dan Allah akan memuliakan
wanita yang menutup auratnya.
“Nabil, bisakah orang sepertiku ini menjadi
Akhwat. Aku juga ingin pakai jilbab. Bantu aku ya? Sebagai sahabat tentunya!”
Aku bahagia mendengar ucapannya yang ikhlas itu, walau pun terdengar dengan
nada sendu. Tapi, aku yakin telah ada senyum tersungging di sana, di balik satir itu. Bersamaan dengan
turunnya sebuah Hidayah, untuk bidadari seperti Rima. Alhamdulillah. "itu pasti".
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar