Rabu, 17 Juli 2013

Mawar Kuning untuk Bidadari


by ken emont

Kamis 16 January, Pagi.
"Adu…h!, mana ya buku yang aku pinjam itu?!" Celoteh Rima sembari mencari buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah kemarin.
"Duh!, mana jam udah siang lagi".
"Kamu cari apa sayang?", Tiba-tiba mama muncul dari ambang pintu kamar Rima, beliau tersenyum manis.
"Ini yang kamu cari?" Mama mengangkat sebuah buku ber-cover Putih.
"Wah...iya ma iya, syukur banget, emangnya mama nemuin di mana?" Tanya Rima sambil terus kegirangan.
“Kamu tuh yang lupa naruhnya di mana, makanya lain kali kalo abis belajar, jangan lupa taruh lagi di kamar kamu!” Sang mama menasehati.
“Hehehe…, ya ma, maafin deh..., kan tadi malam Rima ketiduran” Kilahnya tak mau kalah.
“Gini nih anak perawan mama, orangnya suka lupaan” tegur mama sambil tersenyum sayang.
“Hehe... tapi makasih ya ma, sekarang Rima berangkat dulu deh ke sekolah, udah telat. Kum...ma!”
“Eit..,salamnya kok gitu sih!?” Mama cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah putri bungsunya itu.
Dengan mengendarai motor Matic hadiah dari ayahnya sewaktu jadi juara umum di sekolahnya, dia ia bertolak menuju sekolah agak telat dari biasanya.
Sesampainya di sekolah, Rima langsung menuju parkiran sekolah, hampir saja dia terlambat. Setibanya dalam kelas, anak-anak terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ternyata, pak guru masih belum juga datang. “Duh untungnya”, batinnya lega. Lima menit kemudian, pak Joko, sang wali kelas memasuki ruang kelas, serentak suasana langsung sepi. Di depan kelas, walau pun waktu sudah lewat 7 menit, beliau tidak langsung memulai pelajaran. Beliau memperkenalkan seorang murid baru yang katanya pindahan dari Surabaya, yang sekarang juga akan menghuni kelas 3 IPA atau lebih tepatnya kelas Rima.
“Nabil!, silahkan masuk!” Suara bariton pak Joko memerintah seseorang yang ada di luar untuk masuk dan memperkenalkan diri. Tak lama kemudian, seseorang dengan tubuh atletis masuk ke dalam kelas dan langsung memperkenalkan dirinya.
”Assalamualaikum...!, kenalkan, nama saya Nabil, Zaid Nabil. Saya pindahan dari Surabaya...” Pemuda itu memperkenalkan dirinya.
Beberapa siswa ada yang berkasak-kusuk, ada juga yang saling adu sikut. Sementara Rima hanya menatap tajam kearah sosok yang ada di depan kelas tersebut. Dan kini, tatapan Rima tak lepas memandangi Nabil yang kini sudah duduk dua bangku di arah kanannya. Ada desir aneh nan sejuk di sana.
                                                                   >>>
Lelah rasanya setelah pindah dari Surabaya seminggu lalu, tadi pagi aku langsung masuk di kelas dan sekolah yang baru pula. Ada kesan yang beda bagiku begitu masuk ke kelas itu. Tak seperti sekolah-sekolah di Surabaya dulu. Tapi aku lebih suka suasanan yang sekarang ini.
Setengah bulan di sekolah baru ini, aku langsung diajak oleh Rahman teman kelasku untuk mencalonkan diri menjadi anggota Rohis. Dan, Alhamdulillah aku terpilih menjadi Sekertaris. Otomatis kegiatanku di sekolah bertambah, nongkrongin perpustakaan, di Musholla, kantor Rohis, dan yang paling menyita waktu adalah mempersiapkan acara Pensil menyambut tahun baru Hijriyah. Beberapa teman di kelas juga mulai akrab denganku, dan rata-rata semua laki-laki. Aku tahu ada beberapa anak putri yang ingin kenal denganku, dan kebanyakan mereka hanya ingin menarik perhatianku saja. Huh…!.
Katanya sih, salah satu siswi itu namanya Rima. Dia duduk dua bangku dari arah kiriku. Anaknya pendiam, tapi ia berprestasi, rambutnya berjuntai terlepas dan panjang sepinggang. Sayang, dia tidak menutup aurat. Aku kan anak Rohis dan seorang Ikhwan, gimana caranya aku bisa buat dia tutup auratnya?.
    
Akhirnya, acara Pensil tahun baru Hijriyah tiba juga. Rata-rata yang hadir anak-anak jilbaber, yang putra kurasa lebih dari separuh anak sekolah ini. Ada juga yang cuma pake jilbabnya nangkring kayak punya mbak Tutut. Tapi tunggu, Sosok pendiam dan berprestasi itu tak ku lihat, tak muncul di acara ini. Ah biarlah!. Yang penting acara berjalan dengan lancar dan meriah.
                                                         >>>
Setengah bulan lagi bulan Februari, Rima sibuk menandai kalender kecil di meja belajarnya. Melingkari beberapa angka dengan spidol merah besar. “Akhirnya, setelah sebulan lebih, aku kenal juga dengan Nabil. Senang rasanya”, Bisik hati kecilnya. Dia tersenyum sendiri sembari melangkah ke ranjang pegasnya dengan membawa Diary Pink kesayangannya.

          Dear Diary...
      Ry...hari ini aku seneng banget...dech!. Coz tadi pagi Nabil menyapaku. Yah…,walau pun dia cuma nanya soal Randi teman sebangkunya yang tak masuk karena sakit itu. So swee...t!!.
     Ry...setengah bulan lagi bulan Februari, kamu ngerti kan maksud ku...apakah aku punya keberanian tuk ngungkapin semua ini ya, ry... Doain aku ya!. Met bobo ry.^-^
         
Hingga jam sepuluh menjelang, Rima baru bisa memejamkan mata lentiknya itu.
“Nabi...ll Tunggu...!!”
“Maafin aku Rima, aku tak bisa bersamamu. Karena kamu bukan muhrimku, dan juga..., pakaianmu itu. Maafin aku!”    Sosok  itu menjauh dari Rima, langkah Rima terus mengejar, tapi apa daya. Langkah sosok itu kian menjauh dan menjauh.
Rima tersentak bangun dengan wajah becucuran keringat. Jam dinding menunjukkan jam setengah lima pagi. Terdengar adzan Subuh telah tegak. Dia menangis teringat pada Nabil dalam mimpinya barusan, juga pada mendiang ayahnya yang selalu membangunkan dirinya di kala Subuh tiba. Rima rindu.
                                                          >>>
“Bil, emangnya lusa besok, pas Vallentinan lu mau ngungkapin perasaan lu sama siapa?” Tanya Randi.
“Aduh Ran..., bukannya gue mo ngelarang lu ya, yang namanya Vallentinan itu perayaannya orang Nasrani, nggak cocok buat orang Islam kayak kita ini. Lu masih islam kan?” Selidik ku.
“Masih dong!, tapi..., Bil, apa gue yang jarang salat ini masih bisa tobat?”
“Ran, Allah itu maha pengampun, sebesar apapun dosa kita, kalo emang kita serius untuk tobat, Allah pasti akan nerima tobat kita dan...bla bla bla...” Aku menjelaskan panjang lebar, dan juga tentang perayaan Vallentine yang mana sudah jadi tradisi orang-orang Nasrani, dan dosanya Tasyabbuh pada mereka.
“Jadi gimana, ntar lusa lu masih mau ikutan acara begituan?”.
“Ng..., gue rasa..., gue ke rumah lu aja deh, ngerjain tugas dari Pak Teguh, Sekalian belajar ngaji, Boleh kan?”
Kehangatan itu terasa semakin dekat, persahabatan adalah sesuatu yang indah, apalagi ada Rahmat-Nya yang selalu mendampingi setiap kami melangkah.
     Tak lama setelah itu, di belakangku telah berdiri seorang gadis yang tak asing lagi sosoknya bagiku. Ku tahu Rima ada di situ karena Randi memberi isyarat mata padaku tentang keberadaannya.
“Eh Rima, ada perlu apa? kok bengong sendiri disitu?” Candaku untuk menghilangkan kekakuannya.
“Aku..., aku pengen ngomong sesuatu sama kamu Bil, bisa nggak?”
“Ngomong ama aku?, soal apa?”
“Ini penting Bil, aku serius gimana? bisa nggak?”
“Ya udah deh, tapi kita ngomongnya jangan disini ya, di Musholla aja. Di sana ada satir yang bisa misah kita waktu ngomong ntar”.
“Terserah kamu deh!”.
Randi cuma mengangguk setelah aku minta waktu sebentar padanya, ada angin sejuk yang datang di hatiku, tapi juga serasa ada api yang seakan menanti di depan sana. Aku  gugup.
Di dalam Mushallah, aku duduk dibagian pria, sedangkan Rima sebaliknya. Awalnya perbincangan kami terasa kaku, akhirnya sedikit lebih akrab walaupun kami terpisah. Aku takut.
“Tet...tet...tet...”, bel sekolah tiba-tiba berteriak keras membuyarkan perbincagan kami pagi itu. Aku tak tahu harus melakukan apa ketika Rima menyodorkan selembar amplop berwarna merah jambu padaku sebelum dia beranjak pergi. Aku bingung apa yang harus aku lakukan pada surat ini. Kubaca sekilas tulisan yang ada di bagian depan amplop. “Untuk Zaid Nabil”.
Di dalam kelas aku tak berani membaca isi surat itu, juga tak berani melihat ke arah Rima. Hingga akhir jam pelajaran, aku tak bisa mengkonsentrasikan pikiran pada pelajaran yang di sampaikan pak guru. Aku bingung.
“Emangnya ngapain dia ngajak lu tadi?, ati-ati, ntar ada fitnah lo!”
“dia cuma nanya soal pelajaran aja kok Ran” Aku mencoba ngeles dari pertanyaan Randi barusan.
                                                         >>>
          Dear Nabil...
Sebelumnya, aku minta maaf kalau datangnya surat ini nantinya mengganggu aktifitasmu. Bil...aku nggak pengen basa-basi...!. Sebenarnya, sebelum mengenal kamu..., hatiku tak seberat seperti sekarang ini. Bagai seekor merpati yang bisa terbang bebas di angkasa biru. Tapi, semenjak kau datang dan aku mengenal kamu, hatiku serasa tercuri. Aku bingung, kemana harus mencari. hingga akhirnya..., aku beranikan diri untuk menulis surat ini untuk kamu. Mungkin... tanpa ku utarakan semua, kamu sudah paham maksud dari tulisanku ini. Aku ingin hati ini kembali lengkap dan ada yang menjaganya untukku. Nabil, aku tunggu jawabanmu. Sekian.

The admirror
Rima.

Blarr!!! Seketika aku bagai tersambar petir di siang bolong. Tak kusangka Rima yang pendiam itu, secara diam-diam pula menaruh hati padaku, hingga dia nekat menulis surat untukku. Aku bingung apa yang harus kuperbuat sekarang. Padahal tadi pagi aku baru saja menyadarkan Randi sohibku. Apakah aku yang kena timpal baliknya, ataukah ini hanya ujian bagiku. “Ya Allah! Ampunilah hambamu ini”.
Malam ini, Salat malam kudirikan tuk meminta petunjuknya, beribu untaian doa ku panjatkan pada-Nya.
Sudah kuputuskan akan kujawab isi surat dari Rima, tekatku sudah bulat. Bagaimana pun nanti yang akan terjadi pada ku atau dia. Suasana sekolah sedikit berbeda dari biasanya, banyak siswa yang tertipu oleh virus vallentine itu. mereka berbondong-bondong menyatakan perasaannya pada pasangan mereka masing-masing, yang notabene bukan muhrimnya. Astaghfirullah. Padahal, sejatinya cinta, baik dari bumi atau langit, semua hanya patut kita berikan pada Tuhan pencipta semesta. Aku dan Randi cuma bisa mengelus dada saja. Ironis sekali bangsa ini.
“Bil tunggu!, katanya lu nggak mau ikutan vallentine, tapi kenapa lu beli mawar kuning segala? Buat siapa sich?” Randi melontarkan pertanyaan yang cukup menerorku.
Aku menceritakan panjang lebar pada Randi tentang surat dari Rima, dan juga maksudku membeli mawar kuning yang ada di bangkuku itu.
“Oo..., jadi itu maksud mawar kuning itu, kalo' gitu..., gue dukung lu dari belakang deh”.
Mushalla pagi itu sepi, hanya kicau burung dan hembusan angin pagi silih berganti, saling berpadu.
Aku telah menunggu kedatangan Rima sepeti sebelumnya. Aku duduk di tempat laki-laki sedang Rima sebaliknya, dibatasi satir tinggi panjang. Sejenak hanya kesunyian, lalu aku membuka pembicaraan di pagi itu.
“Sebelumnya aku minta maaf jika nanti ...” Kata-kataku di putus oleh Rima, seakan dia telah tahu apa yang akan aku ucapkan.
“Nabil, hatiku sudah siap mendengar jawabanmu, apapun nanti yang akan kau ucapkan, aku sudah siap menerima konsekwensinya, meskipun itu akan sakit bagiku” Mendengar ucapannya, aku sedikit terenyuh padanya.
“Sebelumnya, aku sudah membaca surat yang kau berikan padaku, aku sudah paham tentang bagaimana perasaanmu. Tapi, setelah aku berpikir secara dewasa dan memikirkan akibatnya secara syara' dan sosial, kita...”. Hening.
“Dan mungkin inilah yang terbaik bagi kita, dan aku memilih jawaban tentang apa yang kau pinta itu. Mungkin bukan waktunya bagi kita tuk menjalin hubungan yang pasti, karena tugas kita tuk menuntut ilmu masih berlangsung. Tapi, jika kita memang jodoh, pasti tak akan kemana. Rima... aku tak ingin kehilangan apapun, dan aku juga tak ingin kehilangan kamu. Aku telah memutuskan tuk menjadi sahabatmu saja, mungkin tak bisa lebih bagiku. Maafkan aku...?”. Terdengar desahan napas panjang di balik sana, Rima tak menangis. Dia tampak tegar.
“Rima, sebagai permintaan maafku dan awal persahabatan kita, ku harap kau mau menerima mawar kuning ini sebagai tanda persahabatan kita” Aku menyodorkan sekuntum mawar kuning ke balik satir itu, Dia menerimanya. Ternyata, dia juga gamang dengan perasaannya, setelah ia bercerita panjang lebar. Tak lupa dia juga menanyakan tentang mimpi yang pernah ia alami. Aku jelaskan tentang wajibnya seorang wanita yang sudah baligh untuk menutup seluruh tubuhnya, karena itu adalah aurat. Dan Allah akan memuliakan wanita yang menutup auratnya.
“Nabil, bisakah orang sepertiku ini menjadi Akhwat. Aku juga ingin pakai jilbab. Bantu aku ya? Sebagai sahabat tentunya!” Aku bahagia mendengar ucapannya yang ikhlas itu, walau pun terdengar dengan nada sendu. Tapi, aku yakin telah ada senyum tersungging di sana, di balik satir itu. Bersamaan dengan turunnya sebuah Hidayah, untuk bidadari seperti Rima. Alhamdulillah. "itu pasti". Tamat

0 komentar:

Posting Komentar