01.51 -
Art,ken cerpen
No comments


Angin Surga Untuk Ana
ANGIN
malam berhembus sepoi mengisi celah-celah kosong setiap sudut alam. Rembulan
juga tak lelah belalakkan kedua matanya mengawasi mimpi-mimpi indah setiap anak
manusia di tengah gelapnya malam. Di sana,
di sebuah rumah bertembok tinggi berpagar besi, sepasang mata masih terbelalak
bagai tak tersapa rasa kantuk secuil pun. Tangan putih lentiknya masih sibuk
membuka-buka makalah pengajian yang diadakan oleh anak-anak rohis besok pagi di
sekolahnya. Gadis remaja itu sibuk
mencatat pokok-pokok bahasan dalam makalah yang tadi ia dapat dari sahabatnya,
Wulan ke dalam diary pribadinya.
Sambil
rebahan di dalam kamarnya yang serba pink, dengan ditemani dua buah buku tebal
dan bantal guling tweety kesayangannya, Ana Armanda, gadis muda energik itu
masih asyik mengarungi kata demi kata pada makalah tersebut. Gadis kelahiran 2
Desember 17 tahun yang lalu itu, adalah anak bungsu dari keluarga Janus Darman
dan Amanda Sitohak. Kakaknya, Rendra Darman sudah menikah setahun yang lalu
dengan seorang gadis Bali, teman kuliahnya
dulu.
Walaupun
berasal dari keluarga penganut Protestan yang taat, papa dan mamanya tidak
melarang anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri, asalkan
tidak melanggar norma. Begitupun kakaknya, orang tua mereka tidak melarangnya
menikah dengan gadis Bali itu, Ni Made
Suryana. Hingga kakaknya kini berubah keyakinan menjadi seorang penganut Hindu
Bali. Meskipun dalam keluarga besarnya masih ada yang menentang pilihan
kakaknya, tapi kedua orang tuanya mendukung Rendra demi kebahagiaan anaknya
tersebut.
Setengah
jam berlalu, Ana merasa matanya kini tak bisa diajak kompromi lagi. Makin lama
terasa makin berat saja, hingga akhirnya dia KO melawan rasa kantuknya itu.
Kini mimpi-mimpinya telah menanti kehadiran Ana ke alam khayal tanpa tepi.
@@@
Detak
jam di dinding kamar Ana masih terus berputar mencari pagi, sayup-sayup dari
kejauhan terdengar suara seruan azan subuh mengalun merdu memanggil para hamba
Allah yang masih berasyik-masyuk dengan mimpi-mimpi manis mereka masing-masing.
Sesaat Ana terbangun, namun dia tidur lagi. Fajar mulai menyingsing, mentari
pun mengintip dari celah dedaunan ditemani tetesan embun pagi. Jam 06:15 Ana
sudah bangun, sembari menggeliat menyambung sukma yang tak sempurna, ia dengan
segera beranjak menuju kamar mandi
pribadinya.
Dengan
mata sedikit malas, ia diam sejenak menikmati hawa sejuk udara pagi hari itu,
tatapannya lurus memandangi wajahnya dalam cermin di depannya, kusut. Hari
minggu ini, dia berencana untuk tidak keluar rumah setelah pulang dari gereja
nanti. Malas.
Sekitar
jam 07:15, Ana dan keluarganya berangkat menuju gereja Santa Maria untuk melakukan misa minggu.
Dalam misa kali ini, Ana merasakan suasana yang agak berbeda dari biasanya,
suasana yang sedikit kurang nyaman di hatinya. Ia teringat sebuah ayat
al-Qur'an yang ia baca di makalahnya malam tadi. Ayat itu begitu menohok dalam
hatinya. Lamunannya berperang, berseberangan tatkala menyimak khotbah dari
pendeta Bernard tentang Tuhan Yesus. Penjelasan yang kontradiktif dari yang ia
tahu dan ayat yang tadi malam ia hafalkan. Sungguh bertentangan dengan apa yang
ia tahu di ajarannya. Pikirannya masih terus berkutat pada ketuhanan Yesus atau
Nabi Isa itu.
Memang,
Ana mulai mengkritisi ajaran agamanya ini semenjak ia masih SMP dulu.
Wajah
murung Ana terus berlanjut hingga mereka pulang dari gereja. Aneka macam
berkelebat di otaknya. Logikanya masih belum menemukan jawaban atas berbagai
keraguan yang menyeruak dalam hatinya. Tak sengaja mamanya melihat keadaan
putrinya yang agak gelisah pagi itu.
“Sayang,
kamu gak apa-apa kan?”
tanya mamanya lembut dengan suara agak ditekan.
“Ah…aku
gak pa-pa kok Ma,” balasnya sambil tersenyum.
“Yakin
gak apa-apa?”
“
He-eh…” Dia hanya mendesah pelan, diiringi anggukan malas.
Jam
10:30 pagi, mobil mereka sampai di rumah. Tidak seperti biasanya, setelah turun
dari mobil Ana langsung masuk rumah. Mamanya sedikit bingung melihat keadaan
putri kesayangannya pagi ini. Dia hanya memandang punggung Ana yang berjalan
cepat masuk ke dalam kamarnya.
@@@
Ana
menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya, ia menyambar ponselnya yang
tergeletak di atas meja belajar, satu pesan masuk tapi tak ia baca. Lalu ia
menghubungi sahabatnya, Wulan sekaligus teman sebangkunya. Wulan adalah putri
seorang tokoh masyarakat di daerahnya. Pribadinya tak pernah lepas dari jilbab
panjang. Orangnya pintar dan juga sopan, dia juga tak mau kenal dengan yang
namanya pacaran, karena dia orangnya anti pacaran. Terlebih hal itu dilarang
agamanya. Ada
nilai lebih pada sosok Wulan. Dia dianugerahi paras di atas rata-rata.
Tapi
bukan karena itu semua Ana berteman dengan Wulan. Dalam pandangannya, Wulan
orang yang bisa mengerti pada sisi paling dalam pada dirinya selama ini. Selain
itu, hanya Wulan yang bisa ia ajak curhat. Wulan juga sekali-kali memberi
penjelasan pada Ana ketika ia bertanya tentang bagaimana itu Islam.
Ana
mencari cari nomor Wulan di-HP nya, lalu ia calling nomor tersebut. Tak berapa
lama tersambung, ditandai dengan nada sambung di HP Wulan berbunyi. Terdengar
lantunan ayat suci al-Qur'an mengalun merdu menyejukkan kalbu yang mendengar.
Belakangan diketahuinya bahwa suara khas itu adalah milik al-Ghomidi. Ana
seakan terhipnotis oleh suara itu. Tapi kejadian itu langsung sirna ketika dari
seberang Wulan menyahut. lantunan ayat suci al-Qur'an mengalun merdu
menyejukkan kalbu yang mendengar. Belakangan diketahuinya bahwa suara khas itu
adalah milik al-Ghomidi. Ana seakan terhipnotis oleh suara itu. Tapi kejadian
itu langsung sirna ketika dari seberang Wulan menyahut.
“Assalamualaikum?”
terdengar suara Wulan di seberang sana.
“
Ha…halo, Wulan ini Ana,” dia gelagapan tak tahu untuk menjawab salam dari
Wulan.
“Oh
Ana, ada apa An…, kok tumben siang-siang begini nelpon aku?” tanya Wulan.
“Ah
nggak, Lan…, emangnya kamu sekarang ada di mana?” Ana balas bertanya.
“Aku
sekarang lagi ada di sekolah, nugguin acara pengajiannya mulai. Kamu lagi
ngapain hari libur gini?”
“Aku
di rumah aja. Ehm…Lan, boleh gak aku datang ke sana?” Ana diam menunggu jawaban.
“Apa…,
kamu mo dateng ke sini? Ngapain?” Wulan heran.
“Aku
pengen ikut pengajian ama kamu,” jawab Ana spontan.
“Bener
kamu mo ikut pengajian…, apa gak apa-apa…?” tanya Wulan heran.
“Iya
bener aku pengen ikut pengajian, boleh kan,
Lan?” Ana memelas.
“Iya
boleh… boleh kok! Malah aku seneng banget, lagian aku sendirian di sini!” nada
bicara Wulan tampak senang.
“Makasih
ya Lan, aku berangkat sekarang… tungguin ya. Dah…!”
Tak
terasa tenggorokannya sedikit tercekat. Ada
sesuatu yang membuat air matanya ingin keluar, tapi dia tahan. Ana masih belum
sadar atas apa yang ia ucapkan barusan. Wulan bisa menerima kehadirannya. Dia
mau ikut pengajian untuk pertama kalinya, masa sih aku bilang kayak gitu
barusan? Apa aku sudah siap? Pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya.
Bergegas dia berganti pakaian, mengenakan rok panjang dan baju berlengan
panjang berwarna pink. Sungguh anggun dirinya dengan pakaian seperti itu. Tapi
dia masih bingung, apakah dia akan berubah sekarang, atau masih akan menunggu
waktu? Ia terpaku melihat dirinya dalam cermin, benarkah aku Ana Armanda. Ia
merasa tidak mengenal dirinya.
@@@
Wulan
celingak-celinguk mencari sosok sahabatnya, Ana di antara para siswa-siswi yang
bersiap masuk ke Aula. Tiba-tiba ada yang menyentil pundaknya dari belakang.
Akhtar, sang ketua Rohis SMU 1 yang
menjadi primadona sekolah, ternyata sudah berdiri tegap di belakangnya.
“Cari
siapa Lan, kok celingukan sendiri?” tanyanya.
“Eh
ini Kak, aku lagi nunggu Ana, katanya dia mo ke sini,” jawab Wulan sambil
tersenyum.
“Ana…Ana
kelas 2 IPA itu, yang biasanya ke gereja itu ya? Emangnya dia mau apa ke sini?”
selidik Akhtar sedikit heran.
“Katanya
sih mau ikut pengajian Kak….!” jawab Wulan. Dia sedikit ragu untuk meneruskan
kalimatnya. “Barangkali dia mulai tertarik ama Islam Kak,” tambahnya.
Akhtar
tidak menjawab. Angannya membayangkan sosok Ana yang ia tahu adalah seorang
gadis Protestan. Ana anak pengusaha sukses yang tak mau berteman dengan
anak-anak kaya. Malah yang ia tahu Ana lebih suka berteman dengan anak yang
terbilang biasa. Pernah ia suatu ketika melihat Ana berduaan dengan Amang di
depan musola sekolah. Kebetulan Akhtar mendengar percakapan mereka. Saat itu,
Ana meminta Amang yang 'Gus' itu mengajarinya membaca al-Qur'an. Namun Amang
menolaknya karena Amang memang anaknya tak pernah berdua dengan wanita yang bukan mahramnya.
Kemudian Amang mengajukan Bu Lilis, sang guru agama untuk mengajari Ana membaca
al-Qur'an. dengan anak yang terbilang biasa. Pernah ia suatu ketika melihat Ana
berduaan dengan Amang di depan musola sekolah. Kebetulan Akhtar mendengar percakapan
mereka. Saat itu, Ana meminta Amang yang 'Gus' itu mengajarinya membaca
al-Qur'an. Namun Amang menolaknya karena Amang memang anaknya tak pernah berdua dengan wanita yang bukan mahramnya.
Kemudian Amang mengajukan Bu Lilis, sang guru agama untuk mengajari Ana membaca
al-Qur'an.
Gadis
yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Dia muncul dari selatan gerbang
sekolah. Wulan dan Akhtar sempat tercengang melihat penampilan Ana yang jauh
berbeda dari biasanya. Busana yang tertutup rapat, dan yang paling membuat
mereka takjub adalah Jilbab pink yang dikenakan Ana. Wulan masih tercengang
melihatnya, tak terasa matanya berkaca-kaca melihat sahabatnya. Akhtar
terdengar mengucapkan lafadz syukur dan tasbih berkali-kali. Senyumnya
mengembang. Dia berharap sahabat seimannya bertambah satu lagi. Semoga
penampilan Ana ini bukan sekadar toleransi, tapi awal menjadi muslimah sejati!
@@@
“Alhamdulillah,
ini semua berkat doa dari kalian. Sebetulnya, sudah sejak lama aku mendambakan
menjadi salah satu dari kalian, menjadi seorang Akhwat. Dan akhirnya cahaya itu
datang tadi malam, ketika aku berkunjung ke rumah Bu Lilis…,” tutur Ana panjang
lebar pada Wulan dan beberapa kawan kelasnya yang kini sudah mengerubungi
mereka berdua. Kesukacitaan itu terus berlangsung hingga menjelang Ashar.
Di
sudut lain, Akhtar yang tak sengaja lewat di dekat kerumunan mereka beradu
pandang dengan Ana. Dia tersenyum bangga lalu mengangguk pelan pada Ana. Ana
membalas sebaliknya. “Terima kasih,” batinnya.
@@@
Jam
delapan, malam itu. Bu lilis tersenyum haru di hadapan Ana. Tak lama ia memeluk
muridnya itu dengan air mata berlinang. Alhamdulillah, Ana akhirnya mengucapkan
dua kalimat syahadat itu dengan lancar. Disaksikan Bu Lilis dan beberapa santri
putri senior dari pesantren Kiai Abdulloh Qohhar, ayah Bu Lilis. Kiai Abdulloh
sendiri yang menuntun Ana bersaksi
mengucapkan ke-Esaan Allah. Ana memantapkan niatnya untuk pindah agama setelah
beberapa tahun terakhir ini dirinya selalu diliputi rasa gamang pada agamanya
yang dulu.
“Sayang,
Ibu bangga sekali punya murid seperti kamu,” ucap Bu Lilis terbata-bata.
“Bu…,
makasih sudah menuntun Ana pada jalan lurus yang akan Ana lalui ini…!”
Keduanya
lantas larut dalam tangis keharuan bercampur bahagia.
“Terus,
gimana dengan orang tua kamu?” tanya Bu Lilis.
“Mama
sudah saya kasih tahu. Alhamdulillah beliau tidak melarang pilihan saya ini,”
ucapnya lirih.
“Bu,
tolong tuntun saya supaya bisa lebih mendalami agama ini. Tuntun saya di jalan
cahaya-Nya ini!” pinta Ana tulus.
“Itu
pasti sayang. Ibu akan selalu ada kalau kamu membutuhkan,” jawab Bu Lilis
mantap.
“Terima
kasih banyak Bu!” Mereka kembali saling berangkulan. Suasana hening itu berubah
sumringah penuh haru. Akhirnya Ana kini bisa mendapatkan apa yang ia
impi-impikan; menjadi seorang akhwat. Tamat [ ]
0 komentar:
Posting Komentar